Prasasti adalah salah satu peninggalan sejarah yang penting untuk memahami peradaban masa lalu. Namun, dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya, Mataram Kuno, atau Majapahit, prasasti peninggalan Kerajaan Sunda dan Galuh relatif sedikit. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa jumlah prasasti Sunda terbatas? Artikel ini mengulas berbagai faktor penyebab kelangkaan prasasti Sunda melalui daftar alasan yang jelas dan terperinci, berdasarkan analisis sejarah dan budaya masyarakat Sunda. Berikut juga Informasi Museum Bersejarah
Contents
- 1. Gaya Hidup Nomaden Masyarakat Sunda
- 2. Perpindahan Ibukota Kerajaan
- 3. Tradisi Lisan yang Dominan
- 4. Penggunaan Material yang Mudah Rusak
- 5. Fokus pada Naskah daripada Prasasti
- 6. Skala Kerajaan yang Relatif Kecil
- 7. Pengaruh Budaya Hindu yang Terbatas
- 8. Kerusakan Akibat Faktor Alam
- 9. Kurangnya Eksplorasi Arkeologi
- 10. Konflik dengan Kerajaan Tetangga
- 11. Transisi ke Islam
- 12. Kurangnya Tradisi Epigrafi yang Kuat
- 13. Penemuan yang Belum Maksimal
- Kesimpulan
1. Gaya Hidup Nomaden Masyarakat Sunda
Masyarakat Sunda pada masa Kerajaan Sunda dan Galuh dikenal memiliki gaya hidup semi-nomaden, terutama karena mengandalkan pertanian ladang (huma). Berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah dan Timur yang menetap sebagai petani sawah, masyarakat Sunda sering berpindah tempat setelah membuka lahan baru. Hal ini menyebabkan kurangnya waktu untuk membangun struktur monumental seperti candi atau prasasti yang memerlukan stabilitas lokasi.
2. Perpindahan Ibukota Kerajaan
Kerajaan Sunda dan Galuh memiliki ibukota yang sering berpindah, seperti dari Kawali ke Pakuan Pajajaran. Perpindahan ini mengurangi fokus pada pembangunan infrastruktur permanen, termasuk prasasti. Ketidakstabilan lokasi ibukota membuat peninggalan tertulis sulit dipertahankan atau ditemukan.
3. Tradisi Lisan yang Dominan
Budaya Sunda lebih mengandalkan tradisi lisan daripada tulisan untuk menyampaikan sejarah dan pengetahuan. Cerita-cerita seperti Carita Parahiyangan lebih sering diwariskan secara lisan, sehingga kebutuhan akan prasasti sebagai media dokumentasi berkurang. Tradisi lisan ini efektif untuk masyarakat yang berpindah-pindah, tetapi tidak meninggalkan banyak bukti arkeologi.
4. Penggunaan Material yang Mudah Rusak
Prasasti Sunda sering ditulis pada material yang kurang tahan lama, seperti lontar, nipah, atau bilahan bambu, dibandingkan batu yang lebih umum digunakan di kerajaan lain. Material organik ini rentan terhadap kerusakan akibat cuaca, serangga, atau waktu, sehingga banyak naskah kuno hilang sebelum ditemukan.
5. Fokus pada Naskah daripada Prasasti
Selain prasasti batu, masyarakat Sunda menghasilkan naskah-naskah kuno yang ditulis pada lontar atau bambu. Banyak informasi sejarah, seperti dalam Naskah Wangsakerta, dicatat dalam bentuk naskah, bukan prasasti batu. Namun, naskah-naskah ini sering kali tidak terinventarisasi dengan baik dan banyak yang hilang.
6. Skala Kerajaan yang Relatif Kecil
Kerajaan Sunda dan Galuh memiliki wilayah dan pengaruh yang lebih kecil dibandingkan Sriwijaya atau Majapahit. Dengan sumber daya yang terbatas, pembuatan prasasti batu, yang memerlukan tenaga kerja dan biaya besar, mungkin bukan prioritas. Kerajaan lebih fokus pada kebutuhan praktis seperti perdagangan dan pertahanan.
7. Pengaruh Budaya Hindu yang Terbatas
Meskipun Kerajaan Sunda dipengaruhi oleh Hinduisme, pengaruh ini tidak sekuat di Jawa Tengah atau Timur. Masyarakat Sunda lebih mempertahankan kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan, yang kurang menekankan pembangunan candi atau prasasti sebagai simbol keagamaan. Akibatnya, peninggalan tertulis yang terkait dengan agama juga lebih sedikit.
8. Kerusakan Akibat Faktor Alam
Jawa Barat, sebagai pusat Kerajaan Sunda, memiliki iklim tropis lembap yang mempercepat kerusakan material prasasti, terutama yang terbuat dari batu atau kayu. Banjir, longsor, dan vegetasi lebat juga sering menutupi atau merusak situs arkeologi, membuat prasasti sulit ditemukan.
9. Kurangnya Eksplorasi Arkeologi
Hingga kini, eksplorasi arkeologi di wilayah Jawa Barat relatif terbatas dibandingkan Jawa Tengah atau Timur. Banyak situs potensial di daerah seperti Bogor, Sukabumi, atau Ciamis belum digali secara menyeluruh, sehingga jumlah prasasti yang ditemukan masih部分
10. Konflik dengan Kerajaan Tetangga
Kerajaan Sunda sering menghadapi tekanan dari kerajaan tetangga seperti Majapahit, terutama selama peristiwa Bubat. Konflik ini mungkin mengalihkan sumber daya dari kegiatan dokumentasi seperti pembuatan prasasti ke kebutuhan militer dan pertahanan.
11. Transisi ke Islam
Pada abad ke-16, masuknya Islam ke wilayah Sunda, terutama melalui Kesultanan Cirebon dan Banten, menggeser fokus budaya dari tradisi Hindu-Buddha ke tradisi Islam. Prasasti batu, yang sering dikaitkan dengan budaya Hindu, menjadi kurang relevan, digantikan oleh naskah-naskah Islam.
12. Kurangnya Tradisi Epigrafi yang Kuat
Berbeda dengan kerajaan seperti Mataram Kuno yang memiliki tradisi epigrafi yang kuat, Kerajaan Sunda tampaknya tidak mengembangkan kebiasaan serupa. Pembuatan prasasti memerlukan keahlian khusus dan dukungan kerajaan, yang mungkin kurang berkembang di Sunda.
13. Penemuan yang Belum Maksimal
Banyak prasasti Sunda mungkin masih terkubur atau belum ditemukan karena keterbatasan teknologi dan dana untuk penggalian arkeologi. Prasasti seperti Prasasti Cikapundung (abad ke-14) baru ditemukan secara tidak sengaja pada 2010, menunjukkan potensi adanya peninggalan yang belum terungkap.
Kesimpulan
Kelangkaan prasasti Sunda disebabkan oleh kombinasi faktor sosial, budaya, geografis, dan historis. Gaya hidup nomaden, tradisi lisan, penggunaan material yang mudah rusak, dan kurangnya fokus pada epigrafi adalah beberapa alasan utama. Selain itu, tekanan eksternal, transisi budaya, dan keterbatasan eksplorasi arkeologi turut memperparah situasi ini. Meski demikian, prasasti yang ada, seperti Prasasti Kawali, Batutulis, dan Ulubelu, tetap memberikan wawasan berharga tentang sejarah dan budaya Sunda. Dengan peningkatan penelitian arkeologi di masa depan, lebih banyak peninggalan mungkin akan ditemukan, memperkaya pemahaman kita tentang peradaban Sunda.